Selasa, 25 Maret 2008

Sabtu, 15 Maret 2008

Wawasan Nusantara

Dalam era Reformasi ini, Wawasan Nusantara semakin kabur dalam pemahaman bangsa Indonesia. Peranan wawasan nusantara sebagai landasan visional semakin berkurang penerapannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konflik-konflik internal dan eksternal yang terjadi saat ini yang tidak mampu diselesaikan dengan baik disebabkan rapuhnya landasan visional bangsa Indonesia. Kasus Sipadan dan Ligitan yang kini telah menjadi milik Malaysia, menjadi bukti lemahnya bangsa Indonesia memahami konsep Wawasan Nusantara. Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia semakin hari semakin berat, maka penerapan dan pemahaman konsep wawasan nusantara sebagai landasan visional mutlak perlu ditanamkan kembali dalan tatanan kehidupan masyarakat Indonesia. Euforia reformasi telah menghilangkan arah dalam pembangunan yang merata dan adil, karena hilangnya arah visional pembangunan bangsa. Era desentralisasi dan globalisasi saat ini, menjadi tantangan dan peluang bagi bangsa Indonesia, untuk terus bertahan dan menjaga keutuhannya.Tantangan globalisai yang semakin besar akan merusak keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia Apabila tidak memiliki arah pandangan hidup yang kuat. Pemahaman yang kuat tentang konsep wawasan nusantara dapat menjadi banteng dalam mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wawasan Nusantara merupakan kebanggaan nasional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, konsep yang begitu padu dan sesuai dengan khasanah budaya dan kepribadian masyarakat Indonesia, seharusnya terus berkembang dan jangan ditinggalkan, karena dengan meninggalkan konsep ini berarti telah meninggalkan identitas dan kepribadian kita sebagai bangsa Indonesia. Makalah ini akan membahas konsep wawasan nusantara secara ringkas.

Pengertian Wawasan Nusantara

Wawasan nusantara adalah cara pandang suatu bangsa yang telah menegara tentang diri dan lingkungannya dalam eksistensinya yang serba terhubung (melalui interaksi dan interrelasi ) dan dalam pembangunannya di lingkungan nasional ( temasuk local dan propinsional), regional, serta global.

Ajaran Wawasan Nasional Indonesia

Wawasan Nasional Indonesia merupakan wawasan yang dikembangkan berdasarkan teori wawasan nasional secara universal. Wawasan tersebut dijiwai oleh paham kekuasaan bangsa Indoesia dan geopolitik Indonesia.

1. Paham Kekuasaan Bangsa Indonesia

Bangsa Indonesia yang berfalsafah dan berideologi Pancasila menganut paham tentang perang dan damai :” bangsa Indonesia cinta damai, akan tetapi lebih cinta kemerdekaaan”. Wawasan nasional bangsa Indonesia tidak mengebangkan ajaran tentang kekuasaan dan adu kekuatan, karena hal tersebut mengandung benih-benih persengakataan dan ekspansionisme. Ajaran wawasan nasional bangsa Indonesia menyatakan bahwa : ideology digunakan sebagai landasan dalam menemukan politik nasional, dihadapkan pada kondisi dan konstelasi geografi Indonesia dengan segala aspek nasionalnya. Tujuannya agar bangsa Indonesia dapat menjamin kepentingan bangsa dan negaranya ditengah-tengah perkembangan dunia.

1.2.2 Geopolitik Indonesia

Pemahaman tentang negara Indonesia menganut paham negara kepulauan, yaitu paham yang dikembangkan atas asas archipelago yang berbeda pemahaman archipelago negara-negara barat pada umumnya. Perbedaan yang paling esensial dari pemahaman ini adalah bahwa menurut paham barat, laut berperan sebagai pemisah pulau, sedangkan menurut paham Indonesia laut adalah penghubung sehingga wilayah Negara menjadi satu kesatuan yang utuh sebagai tanah air dan disebut negara kepulauan.

1.3 Dasar Pemikiran Wawasan Nasional Indonesia

Dalam menentukan , membina, dan mengembangkan wawasan nasionalnya, bangsa Indonesia menggali dari nilai-nilai khasanah budaya dan lingkungannya sendiri. Oleh karena itu adanya latar belakang filosofis sebagai dasar pemikiran pembinaan dan pengembangan wawasan nasional yang dapat di tinjau dari :

1.3.1 Pemikiran Berasaskan Falsafah Pancasila.

Berdasarkan falsafah Pancasila, manusia Indonesia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang mempunyai naluri, akhlak, daya pikir, dan sadar akan keberadaanya yang serba terhubung dengan sesamanya, lingkungannya dan alam semesta, dan penciptanya. Dengan adanya pemahaman seperti ini maka akan menumbuhkan cipta, karsa, dan karya untuk mempertahankan eksitensi dan kelangsungan hidupnya dari generasi ke generasi.

Nilai-nilai pancasila bersemayam dalam pengembangan wawasan nusantara, hal ini dapat dilihat dari nilai-nilai Pancasila sebagai berikut:

  1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa

Dalam nilai sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia memiliki kepercayaan dan ketakwaan terhadap tuhan yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing dengan hidup saling menghormati dan mengembangkan sikap toleransi. Nila pancasila mewarnai wawasan nasional yang dianut bangsa Indonesia yang menghendaki keutuhan dan kebersamaan dengan tetap menghormati dan memberikan kebebasan dalam menganut dan mengamalkan agama masing-masing.

  1. Sila Kemanusiaan Yang adil dan Beradab

Nilai Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab yang terkandung bangsa Indonesia mengakui, mengahargai, dan memberikan hak dan kebesan yang sama kepada setiap warganegaranya untuk menerapkan hak asasi manusia. Sikap ini mewarnai wawasan nasional dengan memberikan kebebasan dalam mengeksprisikan HAM dengan tetap mengingat dan menghormati hak orang lain sehingga menumbuhkan toleransi dan kerja sama.

  1. Sila Persatuan Indonesia

Dengan sila Persatuan Indonesia, bangsa Indonesia lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan suku, agama, dan golongan. Sikap ini melandasi wawasan nasional dengan tetap memperhatikan, menghormati, dan menampung kepentingan golongan, suku bangsa, maupun perorangan dengan tujuan untuk menjaga keutuhan negara Indonesia.

  1. Sila Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan.

Nilai yang terkandung dalam sila ini, bangsa Indonesia berusaha dalam membuat keputusan lebih mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat. Sikap ini mewarnai wawasan nusantara dengan mengembangkan musyawarah untuk mufakat dalam pengambilan keputuasan dengan tetap menghormati perbedaan pendapat.

  1. Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Nilai yang terkandung dalam sila ini, bangsa Indonesia mengakui dan mengahrgai warganya untuk mencapai kesejahteraan yang setinggi-tingginya sesuai hasil karya dan usahanya masing-masing. Nilai ini mewarnai wawasan nasional dengan memberikan kebebasan kepada bangsa Indonesia untuk mencapai kesejahteraan sitinggi-tingginya bagi setiap orang dengan memperlihatkan keadilan social bagi darerah penghasil, daerah lain, orang lain sehingga tercapai kemakmuran bersama.

Dari uraiaan diatas dapat disimpulkan bahwa wawasan nasional sebagai pancaran pancasila sebagai falsafah hidup bangsa.

1.3.2 Pemikiran Berdasarkan Aspek Kewilayahan Nusantara

Indonesia memiliki kondisi obyektif yang sangat streategis, dengan yang tersebar di bentangan khatulistiwa. Wilayah Indonesia pada awal kemerdekaan mengikuti Territorale Zee En Indonesia Kringen Ordonantic, dimana lebar laut wilayah Indonesia hanya 3 mil diukur dari garis air rendah dari masing-masing pantai pulau di Indonesia. Penerapan lebar tersebut tidak menjamin keutuhan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, apalagi bila ditinjau pergolakan –pergolakan Dari dalam dan luar negeri. Atas pertimbangan-pertimbangan itulah, maka dimaklumatkanlah Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957, yang berbunyi :”….. berdasarkan pertimbangan-pertimbangan maka pemerintah menyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau termasuk negara Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari pada wilayah daratan Indonesia dengan demikian bagian dari peraiarn pedalaman atau nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar bertentangan dengan/menggangu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Penentuan batas laut territorial ( yang lebarnya 12 mil) diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung yang terluar dari pulau-pulau negara Indonesia,….”.

Maka sejak itulah berubah wilayah Indonesia dari+ 2 juta km2 menjadi +5 juta km2. denga 65 % wilayahnya adalah perairan dan 35% nya adalah daratan yang terdiri dari 17.508 pulau-pulau besar dan kecil, dengan batas-batas astronomis sebagai berikut:

Utara : 06-08 LU

Selatan : 11-15 LS

Barat :94-45 BT

Timur : !41-05 BT

Jarak Utara- Selatan : +1.888 km

Jarak Barat-Timur : +5.110 km

Tahun 1985, Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 ( United Nation Convention on the Law of the Sea ) melalui UU.No.17.Tahun 1985. dan menjadi hukum positif sejak 16 November 1994, setelah diratifikasi oleh 60 negara. Berlakunya UNCLOS 1982 berpengaruh terhadap upaya pemanfaatan laut untuk kesejahteraan, bertambahnya Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landasan Kontinen Indonesia. Geografi Indonesia memiliki keunggulan dan kelemahan . oleh karena itu Wawasan Nasional Indonesia memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi dan konstelasi geografis Indonesia demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

1.3.2 Pemikiran Berdasarkan Aspek Sosial Budaya.

Budaya adalah khasanah yang memperkaya kehidupan masyarakat suatu bangsa. Masyarakat Indonesia terbentuk dari dengan ciri kebudayaan yang sangat beragam yang muncul karena pengaruh ruang hidup, dan perbedaan ras maupun etnik serta berupa kepulauan di mana ciri alamiah sangat beragam antar satu pulau dengan pulau lainnya. Faktor alamiah inilah membentuk perbedaan khas kebudayaan di tiap-tiap daerah sekaligus perbedaan daya ya tanggap inderawi serta pola kehidupan. Wawasan nusantara diwatrnai oleh keinginan menumbuhkan factor-faktor posif dari perbedaaan tersebut, dengan tujuan meningkatkan persatuan dankesatuan bangsa dan berusaha untuk terhindar dari disintegrasi bangsa..

1.3.3 Pemikiran Berdasarkan Aspek Kesejarahan.

Bangsa Indonesia memiliki sejarah yang terus berubah, dimulai kerajaaan-kerajaan tradisional, masa kolonialisme, dan masa tumbuhnya semangat kebangsaan untuk memproklamasikan diri sebagai bangsa yang merdeka, masa pergolakan awal kemerdekaan, masa pembangunan dan masa reformasi, setiap masa tersebut membawa perubahan terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Wawasan Nusantara yang diwarnai oleh pengalaman sejarah tidak menginginkan kembali terjadinya perpecahan dalam lingkungan bangsa dan negara.

1.4 Hakikat Wawasan Nusantara

Hakikat Wawasan Nusantara adalah keutuhan nusantara, dalam pengertian cara pandang yang selalu utuh menyeluruh dalam lingkup nusantara demi kepentingan nasional.

1.5 Asas Wawasan Nusantara

Adapun rincian dari asas tersebut berupa :

  1. Kepentingan yang sama
  2. Keadilan
  3. Kejujuran
  4. Solidaritas
  5. Kerjasama dan Koordinasi
  6. Kesetiaan terhadap kesepakatan bersama menjadi bangsa Indonesia.

1.6 Arah Pandang

Arah pandang dapat dilihat dari dua asperk yaitu:

  1. Arah pandang ke Dalam

Arah pandang ke dalam bertujuan menjamin perwujudan persatuan dan kesatuan segenap aspek kehidupan nasional, baik aspek alamiah maupun aspek social.

  1. Arah Pandang ke Luar

Arah pandang ke luar ditujukan demi terjaminnya kepentingan nasional dalam dunia yang seba berubah maupun dalam kehidupan dalam negeri dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaiaan abadi dan keadilan social, serta kerjasama dan saling hormat-menghormati.

1.7 Kedudukan, Fungsi, dan Tujuan

1.7.1 Kedudukan

  1. Wawasan Nusantara sebagai wawasan nasional bangsa Indonesia yang di yakini kebenarannya.
  2. Wawasan Nusantara dalam Paradigma nasional dapat dilihat sebagai berikut :
  1. Pancasila sebagi falsafah, ideology bangsa dan dasar Negara yang berkedudukan sebagai landasan idiil.
  2. Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan Konstitusional.
  3. Wawasan Nusantara sebagai landasan visional
  4. Ketahanan Nasional sebagai Landasan konsepsional
  5. GBHN sebagai politik dan strategi nasional yang berkedudukan sebagai landasan operasional.

1.7.2 Fungsi

Wawasan Nusantar Berfungsi sebagai pedoman, motivasi, dorongan, serta rrambu-rambu dalam menentukan kebijaksanaan, keputusan, tindakan dan perbuatan bagi penyelenggara negara dari tingkat pusat hingga tingkat daerah.

1.7.3 Tujuan

Wawasan nusantara bertujuan mewujudkan nasionalisme yang tinggi di segala aspek kehidupan rakyat Indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan nasional diatas kepentingan individu maupun golongan.


Sebagai visi dan cara pandang nasional Indonesia, wawasan nusantara harus dijadikan arahan, pedoman, acuan, dan tuntutan bagi setiap individu bangsa Indonesia dalam membangun dan memelihara tuntutan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wawasan Nusantara menjadi pola yang mendasari cara berpikir, bersikap, dan bertindak dalam rangka menghadapi, menyikapi, dan menangani setiap permasalahan yang menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara.

Implementasi Wawasan Nusantara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara meliputi bidang-bidang sebagai berikut:

    1. Implementasi Wawasan Nusantara dalam kehidupan politik akan menciptakan iklim penyelenggaraan Negara yang sehat dan dinamis. Hal tersebut nampak dalam wujud pemerintahan yang kuat, aspiratif dan terpercaya yang dibangun sebagai penjelmaan rakyat.

2. Implementasi Wawasan Nusantara dalam kehidupan ekonomi akan menciptakan tatanan ekonomi yang benar-benar menjamin pemenuhan dan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata.

3. Implementasi Wawasan Nusantara dalam kehidupan social budaya akan menciptakan sikap batiniah dan lahiriah yang mengakui,menerima, dan dan menghormati segala bentuk perbedaan atau kebhinnekaan sebagai kenyataan hidup sekaligus karunia pencipta.

4. Implementasi Wawasan Nusantara dalam kehidupan Hankam akan menumbuhkan kesadaran cinta tanah air dan bangsa yang lebih lanjutkan membentuk sikap bela negara pada setiap warga Negara Indonesia.

Dalam setiap pembinaan seluruh aspek kehidupan nasional, Wawasan nusantara harus menjadi nilai yang menjiwai segenap peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi setiap strata di seluruh wilayah nusantara.

Wawasan nusantara merupakan cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri sendiri dan lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, untuk mencapai tujuan nasional. Nilai-nilai pancasila mewarnai konsep Wawasan Nusantara sebagai wawasan nasional. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam pancasila sebagai falsafah hidup bangsa memberikan karekteristik yang berbeda bagi konsep wawasan nusantara yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Hakikat dari wawasan Nusantara adalah menjaga keutuhan nusantara, dengan memandang secara utuh dan menyeluruh dalam lingkup nusantara demi kepentingan nasional. Wawasan nusantara memiliki asas kepentingan bersama, keadilan, kejujuran, solidaritas,. Kerjasam, dan kesetiaan terhadap kesepakatan. Wawasan Nusantara juga memiliki arah pandang Kedalam dan Keluar yang bertujuan untuk menjamin perwujudan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wawasan Nusantara berkedudukan sebagai wawasan nasional bangsa Indonesia. Wawasan nusantara dalam paradigma nasional memiliki kedudukan yang setara dengan pancasila, UUD 1945, Ketahanan Nasional, dan GBHN dengan menjalankan fungsi yang berbeda.Wawasan Nusantara berfungsi sebagai acuan, pedoman, dan dorongan kebijaksanaan yang menentukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sasaran Implementasi wawasan nusantara meliputi bidang politik, Hankam, Ekonomi dan Sosial Budaya. Semua sasaran ini bertujuan menciptakan kehidupan berbangsa dan masyarakat Indonesia yang setara dan seimbang sehingga tujuan pembangunan nasional dapat tercapai.








Literatur

Drs, Sumarsono,S,MBA,dkk.2002. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Prof.Mr.St. Danusaputro, Munadjat.1982. Wawasan Nusantara. Bandung:Alumni.

Climate Change in Nanggroe Aceh Darussalam

CHAPTER I- PREFACE

Nowadays, climate change is one of the hottest issues that discussed by all countries in the earth. UN conference that held in Bali discuss about issues such as climate change and global warming, each countries have their own opinions about the problems. each countries also have their own effect to this problem. This problems also affected tend decrease the quality of environment. The environment that worse and worse has influenced social and economic life of habitant. Indonesia as a country that has symbol as “ lungs of world “ become an international attention base on this issues. the damage of Indonesian forestry has caused big effect for global warming and climate change.

The damage of Indonesia forestry which caused by illegal logging, forest burning and opening new palm land has affected for reducing of world environment, so the environmental problem in Indonesia become an international problem because the effect not only faced in Indonesia but also in another countries. Many kind of step have done to decrease the damage of forestry that cause one of the factor increasing of global warming and climate change besides using of glasshouse. One of the step that prevent increasing of climate change and global warming is reboisation. Reboisation become one of the way t avoid global warming and climate change .besides force from another industry countries for decreasing usage of chemical gas which cause high rate of global warming.

Therefore, this issues become current to talk or discuss because it related to the safety of the world.


CHAPTER II –GLOBALWARMING AND CLIMATE CHANGE

Global warming refers to the increase in the average temperature of the Earth's near-surface air and oceans in recent decades and its projected continuation.

The global average air temperature near the Earth's surface rose 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) during the last 100 years. The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) concludes, "most of the observed increase in globally averaged temperatures since the mid-20th century is very likely due to the observed increase in anthropogenic greenhouse gas concentrations" via the greenhouse effect. Natural phenomena such as solar variation combined with volcanoes probably had a small warming effect from pre-industrial times to 1950 and a small cooling effect from 1950 onward. These basic conclusions have been endorsed by at least 30 scientific societies and academies of science, including all of the national academies of science of the major industrialized countries. While individual scientists have voiced disagreement with some of the main conclusions of the IPCC, the overwhelming majority of scientists working on climate change are in agreement with them.

Climate model projections summarized by the IPCC indicate that average global surface temperature will likely rise a further 1.1 to 6.4 °C (2.0 to 11.5 °F) during the 21st century. The range of values results from the use of differing scenarios of future greenhouse gas emissions as well as models with differing climate sensitivity. Although most studies focus on the period up to 2100, warming and sea level rise are expected to continue for more than a millennium even if greenhouse gas levels are stabilized. The delay in reaching equilibrium is a result of the large heat capacity of the oceans.

Increasing global temperatures will cause sea level to rise, and is expected to increase the intensity of extreme weather events and to change the amount and pattern of precipitation. Other effects of global warming include changes in agricultural yields, glacier retreat, species extinctions, and increases in the ranges of disease vectors.

Remaining scientific uncertainties include the amount of warming expected in the future, and how warming and related changes will vary from region to region around the globe. There is ongoing political and public debate worldwide regarding what, if any, action should be taken to reduce or reverse future warming or to adapt to its expected consequences. Most national governments have signed and ratified the Kyoto Protocol, aimed at reducing greenhouse gas emissions.

The term "global warming" is a specific example of the broader term climate change, which can also refer to global cooling. In common usage, the term refers to recent warming and implies a human influence. The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) uses the term "climate change" for human-caused change, and "climate variability" for other changes. The term "anthropogenic global warming" is sometimes used when focusing on human-induced changes.

Carbon dioxide during the last 400,000 years and (inset above) the rapid rise since the Industrial Revolution; changes in the Earth's orbit around the Sun, known as Milankovitch cycles, are believed to be the pacemaker of the 100,000 year ice age cycle.Recent increases in atmospheric carbon dioxide (CO2). The monthly CO2 measurements display small seasonal oscillations in an overall yearly uptrend; each year's maximum is reached during the Northern Hemisphere's late spring, and declines during the Northern Hemisphere growing season as plants remove some CO2 from the atmosphere.The Earth's climate changes in response to external forcing, including variations in its orbit around the sun (orbital forcing), volcanic eruptions, and atmospheric greenhouse gas concentrations. The detailed causes of the recent warming remain an active field of research, but the scientific consensus identifies elevated levels of greenhouse gases due to human activity as the main influence. This attribution is clearest for the most recent 50 years, for which the most detailed data are available. In contrast to the scientific consensus that recent warming is mainly attributable to elevated levels of greenhouse gases, other hypotheses have been suggested to explain the observed increase in mean global temperature. One such hypothesis proposes that warming may be the result of variations in solar activity.

None of the effects of forcing are instantaneous. The thermal inertia of the Earth's oceans and slow responses of other indirect effects mean that the Earth's current climate is not in equilibrium with the forcing imposed. Climate commitment studies indicate that even if greenhouse gases were stabilized at 2000 levels, a further warming of about 0.5 °C (0.9 °F) would still occur.

· Temperature changes

Two millennia of mean surface temperatures according to different reconstructions, each smoothed on a decadal scale. The unsmoothed, annual value for 2004 is also plotted for reference.

Global temperatures on both land and sea have increased by 0.75 °C (1.35 °F) relative to the period 1860–1900, according to the instrumental temperature record. This measured temperature increase is not significantly affected by the urban heat island effect. Since 1979, land temperatures have increased about twice as fast as ocean temperatures (0.25 °C per decade against 0.13 °C per decade). Temperatures in the lower troposphere have increased between 0.12 and 0.22 °C (0.22 and 0.4 °F) per decade since 1979, according to satellite temperature measurements. Temperature is believed to have been relatively stable over the one or two thousand years before 1850, with possibly regional fluctuations such as the Medieval Warm Period or the Little Ice Age.

Sea temperatures increase more slowly than those on land both because of the larger effective heat capacity of the oceans and because the ocean can lose heat by evaporation more readily than the land. Since the Northern Hemisphere has more land mass than the Southern Hemisphere it warms faster; also there are extensive areas of seasonal snow cover subject to the snow-albedo feedback. Although more greenhouse gases are emitted in the Northern than Southern Hemisphere this does not contribute to the asymmetry of warming as the major gases are essentially well-mixed between hemispheres.

Based on estimates by NASA's Goddard Institute for Space Studies, 2005 was the warmest year since reliable, widespread instrumental measurements became available in the late 1800s, exceeding the previous record set in 1998 by a few hundredths of a degree. Estimates prepared by the World Meteorological Organization and the Climatic Research Unit concluded that 2005 was the second warmest year, behind 1998.

Anthropogenic emissions of other pollutants—notably sulfate aerosols—can exert a cooling effect by increasing the reflection of incoming sunlight. This partially accounts for the cooling seen in the temperature record in the middle of the twentieth century, though the cooling may also be due in part to natural variability. James Hansen and colleagues have proposed that the effects of the products of fossil fuel combustion -- CO2 and aerosols -- have largely offset one another, so that warming in recent decades has been driven mainly by non-CO2 greenhouse gases.

Paleoclimatologist William Ruddiman has argued that human influence on the global climate began around 8,000 years ago with the start of forest clearing to provide land for agriculture and 5,000 years ago with the start of Asian rice irrigation. Ruddiman's interpretation of the historical record, with respect to the methane data, has been disputed.

CHAPTER III- REBOISATION

The study has been conducted through the inventory and characterization of past and ongoing rehabilitation initiatives and their changing profile in each of the selected regions by conducting series of consultations and workshops with national and local stakeholders. This is in conjunction with in depth evaluation and comparative analyses of all factors, within and across projects, and based on the literature reviews of project-related documents or other secondary sources. The main output of the study is Country Syntheses on Lessons Learned from the nature of rehabilitation efforts in each country drawn from subsidiary outputs of Database I of rehabilitation initiatives and their key features, and Database II of detailed assessment of selected rehabilitation case studies.

The focus of review would be initiatives that aim to actually establish trees on formerly forested land; and not strictly technical trials of species or planting design. Integrated projects with forest rehabilitation components will also be included in this review. The “Forest Rehabilitation Initiatives” included in the study framed by the description: Deliberate activities1 aimed at artificial and/or natural regeneration of trees2 on formerly forested grasslands, brushlands, scrublands, or barren areas3 for the purpose of enhancing productivity, livelihood, and/or environmental service benefits4.

Further explanation:

1Deliberate activities could include technical interventions, new or revised socio-economic arrangements, and new or revised institutional arrangements (land tenure, policies, rules and regulations, monitoring).

2Artificial and/or natural regeneration of trees - any rehabilitation methods that involve trees – from agroforestry to plantations to assisted natural regeneration.

3Formerly forested grasslands, brushlands, scrublands, or barren areas – initiatives that aim to put trees back on formerly forested lands, and not include the rehabilitation of degraded or secondary forest areas (reclamation on mined areas will also be excluded). Type of environments is restricted to upland and lowland areas, and excluding wetlands.

4Purpose of enhancing productivity, livelihood, and/or environmental service benefits – Objectives could span the whole range from productivity to livelihood and/or environmental benefits for different stakeholders.

The Ministry of Forestry in Indonesia uses specific terms to define the rehabilitation efforts based on the status of land or areas where the projects are located. Reboisation or reforestation or forest rehabilitation refers to the initiatives implemented inside state forest areas. Afforestation (penghijauan) or land rehabilitation refers to the initiatives that usually implemented on community lands outside state forest areas.

CHAPTER IV- CONCLUSION

Global warming and climate change are caused by damaged forest and also the increasing of glasshouse gas in industry countries. This condition has made temperature high. So the melting of polar ices that increase sea water level from the continent. This phenomenon gives great effect to the safety of the earth. All countries have to participate in this extreme climate change.

Responsibility for climate change and global warming is the world’s problem. Where each industry countries can not say that develop countries are responsible for this problem.

Forest damage that become worse and worse, that caused by illegal logging, forest burning and new land. So that, for decreasing global warming, we need to do reboisation. But, this problem need the attention of all of people to solve it with high commitment and need big funds.

Therefore, reboisation and global warming have to be the first attention and high commitment to implement the real one in reducing the rate of global warming.

\

LITERATURE

1. Summary for Policymakers (PDF). Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change (2007-02-05). Retrieved on 2007-02-02.

2. Hegerl, Gabriele C.; et al. (2007-05-07). Understanding and Attributing Climate Change (PDF). Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change 690. Intergovernmental Panel on Climate Change.

3. //http.www.kompas.com

4. //http.www.wikipedia.com

Bagaimana menjadi Pribadi yang baik

Pribadi yang baik selalu menjadi impian semau orang, syaratnya apa?

1.Beriman
2.Bertakwa
3. Intelektual
4.Baik Hati
5.Toleransi
6.Sensitive
7.Caring
8.Pemberani